one family for thousand hopes

wujudkan selangit impian yang mereka miliki

Rabu, 03 November 2010

ETIKA PE-BISNIS ISLAM

 Pembahasaan mengenai prinsip Islam dalam dunia usaha tentunya sangatlah panjang, tetapi dalam bahasan singkat ini kita bisa mendapat gambaran tentang garis besar tentang prinsip-prinsip moral yang harus dipegang teguh oleh seorang pebisnis Muslim.

  1. Niat yang ikhlas
dalam lingkup pribadi, niatkan bekerja, berusaha yang halal untuk menjaga diri dari memakan harta dengan cara haram, memelihara diri dari sikap meminta-minta, untuk mendukung kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT, menjaga silaturrahim dan hubungan kerabat dan motivasi positif lainya.
 
Dalam lingkup sosial, niatkan diri mencari harta untuk ikut andil dalam memenuhi kebutuhan masyarakat muslim, memberi kesempatan bekerja yang halal bagi orang lain, membebaskan ummat dari ketergantungan terhadap produk “orang lain”, dan motivasi sosial lainnya.

Niat seperti ini -dikatakan sebagian orang- adalah bisnisnya para ulama. Karena pahala dari suatu perbuatan bisa bertambah berkali lipat jika didasari dengan niat yang ikhlas.

Keikhlasan adalah perkara yang amat menentukan. Dengan niat yang ikhlas, semua bentuk pekerjaan bisa bernilai ibadah. Dengan kata lain, aktivitas usaha yang kita lakukan bukan semata-mata urusan harta dan perut tapi berkaitan erat dengan urusan akhirat.

Allah SWT telah menegaskan bahwa hakikatnya tujuan manusia diciptakan di muka bumi adalah untuk beribadah kepada-Nya. “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” {QS. Adz-Dzariyaat: 56}, maka tentunya semua aktivitas kita di dunia tidak lepas dari tujuan itu pula. Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya amalan itu dengan niatnya.” {Shahih Targhib wa Tarhib no.10}


  1. Akhlaq yang mulia

Menjaga sikap dan perilaku dalam berbisnis adalah prinsip penting bagi seorang pebisnis muslim. Ini karena Islam sangat menekankan perilaku (aklhaq) yang baik dalam setiap kesempatan, termasuk dalam berbisnis. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “...dan pergaulilah manusia dengan akhlaq yang baik” {Sahihul Jami’ no. 97}

Akhlaq mulia dalam berbisnis ditekankan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya, “Seorang pedagang yang jujur dan dapat dipercaya akan dikumpulkan bersama para nabi, shiddiqin dan oarang-orang yang mati syahid.

Dalam kesempatan lain Rasulullah saw bersabda, “emoga Allah SWT memberi rahmat-Nya kepada orang yang suka memberi kelonggaran kepada orang lain ketika menjual, membeli atau menagih hutang.” {Shahih Bukhari no. 2076}

Di antara akhlaq mulia dalam berbisnis adalah menepati janji, jujur, memenuhi hak orang lain, bersikap toleran dan suka memberi kelonggaran.

  1. Usaha yang halal

Seorang pebisnis muslim tentunya tidak ingin jika darah dagingnya tumbuh dari barang haram, ia pun tak ingin memberi makan keluarganya dari sumber yang haram karena sungguh berat konsekuensinya di akhirat nanti. Dengan begitu, ia selalu berhati-hati dan melakuan usaha yang dibolehkan oleh syariat saja.

Rasulullah saw bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari barang haram maka neraka lebih berhak baginya.” {Shahihul Jami’ no. 4519}


  1. Menunaikan hak
Seorang pebisnis muslim selayaknya bersegera dalam menunaikan haknya, seperti hak karyawannya mendapat gaji, tidak menunda pembayaran tanggungan atau hutang, dan yang terpenting adalah hak Allah SWT terhadap harta seperti membayar zakat. Juga, hak-hak orang lain dalam perjanjian yang telah disepakati.

Rasulullah saw memberi peringatan kepada orang mampu yang menunda pembayaran hutangnya,  “Orang kaya yang memperlambat pembayaran hutang adalah kezaliman.” {HR. Bukhari, Muslim dan Malik}

  1. Menghindari riba dan segala sarananya
Riba termasuk dosa besar yang sangat keras ancamannya. Maka pebisnis muslim akan berusaha keras untuk tidak terlibat sedikitpun dalam kegiatan usaha yang mengandung unsur riba. Ini mengingat ancaman terhadap riba bukan hanya kepada pemakannya tetapi juga pemberi, pencatat, atau saksi. Disebutkan dalam hadits Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw melaknat mereka semuanya dan menegaskan bahwa mereka semua sama saja {Shahih Muslim no. 1598}

  1. Tidak memakan harta orang lain dengan cara bathil
Tidak halal bagi seorang muslim untuk mengambil harta orang lain secara tidak sah. Allah SWT dengan tegas melarang hal ini dalam kitab-Nya. Ini meliputi segala kegiatan yang dapat menimbulkan kerugian bagi orang lain yang menjadi rekakan bisnisnya, baik itu dengan cara riba, judi, kamuflase harga, menyembunyikan cacat barang atau produk, menimbun, menyuap, bersumpah palsu, dan sebagainya.

Orang yang memakan harta orang lain dengan cara tidak sah berarti telah berbuat zhalim (aniaya) terhadap orang lain. Allah SWT berfirman : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil dan  kamu membawa  harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan  dosa, padahal kamu mengetahui.” {QS. Al-Baqarah: 188}

  1. Komitmen terhadap peraturan dalam bingkai syari’at
Seorang pebisnis muslim tidak akan membiarkan dirinya terkena sanksi hukuman undang-undang hukum positif yang berlaku di tengah masyarakat. Misalnya dalam hal pajak, rekening membenahi sistem akuntansi agar tidak terkena sanksi karena melanggar hukum. Hal itu dilakukannya bukan untuk menetapkan adanya hak membuat hukum kepada manusia, tetapi untuk mengokohkan kewajiban yang diberikan Allah SWT padanya dan mencegah terjadinya kerusakan yang mungkin timbul.

  1. Tidak membahayakan/merugikan orang lain
Sabda Rasulullah saw, “Tidak dihalalkan melakukan bahaya atau hal yang membahayakan orang lain.”  {Irwa’ul Ghalil no. 2175}

Termasuk katagori membahayakan orang lain adalah menjual barang yang mengancam kesehatan orang lain seperti obat-obatan terlarang, narkotika, makanan yang kadaluwarsa. Atau melakukan hal yang membahayakan pesaingnya dan berpotensi menghancurkan usaha pesaingnya, seperti menjelek-jelekkan pesaing, memonopoli, menawar barang yang masih dalam proses tawar-menawar oleh orang lain.

Seorang pebisnis muslim hendaknya bersikap fair dalam berkompetisi, dan tidak melakukan usaha yang mengundang bahaya bagi dirinya maupun orang lain.

  1. Loyal terhadap orang beriman
Pebisnis muslim sekaliber apapun tetaplah bagian dari umat Islam. Sehingga sudah selayaknya ia melakukan hal-hal yang membantu kokohnya pilar-pilar masyarakat Islam dalam skala interasional, regional maupun lokal. Tidak sepantasnya ia bekerjasama dengan pihak yang nyata-nyata menampakkan permusuhannya terhadap umat Islam. Ini merupakan bagian dari prinsip Al Wala’ (Loyalitas) dan Al Bara’ (berlepas diri) yang merupakan bagian dari aqidah Islam. Sehingga ketika melaksanakan usahanya, seorang muslim tetap akan mengutamakan kemaslahatan bagi kaum muslimin dimanapun ia berada.

Allah SWT berfirman : “Janganlah orang-orang mu'min mengambil orang-orang kafir menjadi wali  dengan meninggalkan orang-orang mu'min. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena  memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya. Dan hanya kepada Allah kamu kembali.” {QS. Ali Imran: 28}

  1. Mempelajari hukum dan adab mu’amalah Islam
Dunia bisnis yang merupakan interaksi antara berbagai tipe manusia sangat berpotensi menjerumuskan para pelakunya ke dalam hal-hal yang diharamkan. Entah karena desakan kebutuhan perut, atau diajak bersekongkol dengan orang lain secara tidak sah atau karena ketatnya persaingan yang membuat dia melakukan hal-hal yang terlarang dalam agama.

Karena itu, seorang Muslim yang hendak terjun di dunia bisnis harus memahami hukum-hukum dan aturan Islam yang mengatur tentang mu’amalah. Sehingga ia bisa memilah yang halal dari yang haram, atau mengambil keputusan pada hal-hal yang tampak samar (syubhat). Mengingat pentingnya mempelajari hukum-hukum jual beli inilah, Khalifah Umar bin Khatab mengeluarkan dari pasar orang-orang yang tidak paham hukum jual beli.



Dinukil dengan beberapa adaptasi dari :
Judul Buku          : Fiqih Ekonomi Keuangan Islam
Penulis                 : Prof. Dr. Shalah Ash Shawi dan Prof. Dr. Abdullah Al Muslih
Penerbit               : Darul Haq, Jakarta.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar